Jakarta tenggelam akibat penurunan permukaan tanah atau land subsidence ternyata bukan ancaman lagi. Fenomena itu sudah terjadi pada beberapa lokasi.
Jumat, 11 Februari 2011 Jalan RE Martadinata, Jakarta Utara kembali ambles. Lokasinya berada di depan Stasiun Ancol, Pademangan Timur, Pademangan, Jakarta Utara. Jalan yang ambles sepanjang kurang lebih 30 meter.
Menurut Muchtar, 42 tahun, warga Pademangan, terdapat sejumlah celah pada jalan yang ambles itu. Terlihat pula rongga antara tanah dan lapisan beton jalan.
Selain jalan, kata Muchtar, tanggul yang membatasi jalan dengan Kali Ancol juga mengalami penurunan lebih dari 40 sentimeter. Terlihat juga celah antara tanah dan beton jalan pada patahan jalan tersebut.
Sebagai pengganti beton tanggul yang mengalami penurunan, telah dipasang bambu yang berfungsi sebagai penahan sepanjang 10 meter.
Kini, di jalan yang ambles itu, telah dipasang pembatas jalan berupa beton berbentuk kotak agar tidak dapat dilintasi kendaraan berat.
Gubernur DKI Jakal;rta, Fauzi Bowo, mengaku memiliki firasat Jalan Martadinata akan ambles. Saat itulah dia meminta jajarannya untuk menyelidikinya.
"Kebetulan beberapa hari lalu berhenti di sana, waktu itu belum ada yang ambles. Tapi saya merasa ada tanda-tanda itu akan terjadi. Saya minta diinvestigasi. Sekarang sedang rapat, dan sudah melakukan pengecekan di lapangan," ujar Foke, begitu panggilan Fauzi Bowo di Balaikota DKI Jakarta, Jumat 11 Februari 2011.
Dia mengatakan, Jalan RE Martadinata masuk dalam jalan nasional, dan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Tapi untuk kebutuhan warga Jakarta, pemerintah provinsi DKI akan memperhatikan kondisi jalan itu.
Terkait jalan ambles ini, Foke menyatakan, "Antisipasi terhadap land subsidence atau penurunan muka tanah di wilayah Jakarta tengah dilaksanakan."
Sejatinya, jalan ambles di Martadinata sudah terjadi untuk kedua kalinya. Jalan ini pertama kali ambles pada Kamis 16 September 2010. Amblesnya cukup panjang hingga 103 meter dengan kedalaman sekitar 7 meter. Kementerian Pekerjaan Umum menyebutkan, berdasarkan hasil investigasi, jalan ini ambles karena terjadinya abrasi atau gerusan air di bagian bawah konstruksi jalan.
Akibatnya, jalan yang menghubungkan Ancol dan Tanjung Priok ditutup untuk perbaikan. Setelah dilakukan perbaikan yang memakan waktu selama tiga bulan akhirnya jalan ini kembali dibuka pada Senin 6 Desember 2010.
Fenomena tanah ambles juga terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah Koja, Jakarta Utara. Pelataran parkir rumah sakit ambles dengan kedalaman lebih dari satu meter. Ambrolnya tanah ini membentuk lubang dengan diameter 50 sentimeter.
Lokasi ini ambles diketahui pertama kali pada Kamis, 4 Februari 2011. Informasi yang diperoleh menyebutkan, amblasnya pelataran parkir itu bermula saat seorang tamu rumah sakit yang menggunakan mobil bermaksud memindahkan kendaraannya ke lokasi lain yang lebih luas.
Dari tempat awal parkir, pengendara memarkir mundur mobilnya. Saat mobil pada posisi maju, tiba-tiba ban belakang sebelah kiri mobil terperosok. Pelataran yang tertutup bata keras atau corn block itu ambrol dan membuat ban kendaraan terjeblos. "Mobil sudah tidak bisa maju karena bannya terlalu dalam masuk ke lubang," ungkap Sarya, 40 tahun, saksi mata.
***
Penurunan permukaan tanah tidak cuma membuat jalan dan rumah sakit ambles. Dilaporkan juga tujuh jembatan anjlok, antara lain:
1. Kamal Muara, Jakarta Utara
2. Mangga Dua, Jakarta Barat
3. Ancol, Jakarta Barat.
4. Pluit, Jakarta Utara
5. Pantai Mutiara, Jakarta Utara
6. Gunung Sahari, Jakarta Pusat
7. Mangga Besar, Jakarta Barat
Data anjloknya jembatan ini didasarkan pada hasil penelitian konsorsium Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS), yang merupakan studi persiapan untuk membuat tanggul raksasa di wilayah pantai utara Jakarta.
Direktur Sungai dan Pantai Ditjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum, Pitoyo Subandrio, mengatakan penurunan tanah sangat terlihat dari gejala anjloknya sejumlah jembatan di Jakarta itu.
"Balok jembatan di Jakarta Utara sudah hampir menyentuh air. Itu bukan karena airnya naik, tapi juga karena tanahnya sudah turun. Kalau dibiarkan, Jakarta tenggelam," ujar Pitoyo saat berbincang dengan VIVAnews.com.
Sinyalemen itu dikukuhkan peneliti geodesi dari Institut Teknologi Bandung, Heri Andreas. Dia menjelaskan, penurunan permukaan tanah tidak hanya terlihat dari anjloknya jembatan saja.
Dia mencontohkan, salah satu lokasi yang telah diteliti timnya adalah Pintu Air Pasar Ikan, Jakarta Utara. Kini air laut di kawasan itu telah mencapai dua meter. "Bila pintu air dibuka, bencana Situ Gintung bisa terulang," katanya.
Data JDCS juga menyebutkan, penurunan permukaan tanah Jakarta sudah terjadi sejak 1974 dan akan terus terjadi. Data terbaru 2010 menyebutkan sebanyak 40 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut.
Data kuantitatif menunjukkan fakta bahwa dalam kurun waktu 1974-2010 telah terjadi penurunan permukaan tanah di wilayah Jakarta hingga 4,1 meter. Ini khususnya terjadi di wilayah Muara Baru, Cilincing, Jakarta Utara.
Penurunan serupa juga terjadi di sejumlah wilayah lain, seperti di Cengkareng Barat setinggi 2,5 meter, Daan Mogot 1,97 meter, Ancol 1,88 meter (titik pantau di area wisata Ancol), Cempaka Mas 1,5 meter, Cikini 0,80 meter, dan Cibubur 0,25 meter.
Penurunan permukaan tanah ini terjadi akibat pengambilan air tanah secara terus menerus. Meski telah dihentikan pengambilan air tanah, penurunan permukaan air tanah ini akan terjadi selama 15 tahun ke depan. Di perhitungkan permukaan tanah akan drop hingga 6,6 meter pada tahun 2030.
Foke mengatakan, Pemerintah DKI Jakarta tengah berupaya menghentikan pengambilan air tanah dengan membangun pabrik air di Jatiluhur, Jawa Barat.
Kajian terhadap pembangunan pabrik penjernihan air Jatiluhur akan menjadi solusi jangka panjang untuk menghentikan perluasan penurunan muka tanah. "Sistem ini sedang dipersiapkan, meski masih terkendala masalah harga dan investasi," katanya.
Ekstraksi atau pengambilan air tanah oleh masyarakat masih terus menerus dilakukan dan ini sudah berpuluh tahun terjadi, barangkali sudah 100 tahun lebih. "Harus kita hentikan secara sistematis dan menyediakan air yang cukup. Jadi apa yang dibicarakan di utara (jalan ambles) ini tidak terlepas dari penyediaan air bersih," paparnya.
Proyek air jernih Jatiluhur ditargetkan selesai dalam tiga tahun. Namun, Foke, menegaskan proyek ini dananya tak akan menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya karena anggaran yang terbatas.
"Kalau menunggu pemerintah, kemampuan untuk investasi kan terbatas. Birokrasinya juga panjang lebar, untuk investasi saya harus minta persetujuan DPRD, nanti harus bikin Perda dulu, sampai kapan orang mau dapat air?" tutur Foke, Jumat, 11 Februari 2010.
weleh2 klo itu benar akan terjadi sakarta akan terendam air laut
BalasHapuswah ngeri juga ya :-t
BalasHapus